Deolipa Yumara Sebut Penangkapan Resbob adalah Konsekuensi Hukum
Jakarta — Praktisi hukum Deolipa Yumara memberikan tanggapannya terkait kasus Resbob, kakak dari figur publik Bigmo, yang belakangan menjadi sorotan publik akibat pernyataan di media sosial yang dinilai menghina kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Deolipa, persoalan ini tidak bisa dilihat sebagai masalah pribadi semata, melainkan telah masuk ke ranah sensitif yang menyangkut tegang rasa antar kelompok sosial, antar masyarakat, dan antar suku.
“Ketika seseorang menghina satu kelompok masyarakat atau satu suku, dia mungkin menganggap tidak ada persoalan. Padahal itu persoalan besar,” ujar Deolipa.
Ia menegaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terdapat batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Menghina suku, agama, adat istiadat, simbol budaya, hingga pribadi seseorang merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
“Kita tidak boleh menghina suku, agama, adat istiadat, atau martabat seseorang dan keluarganya. Semua itu harus dijaga. Kalau dilanggar, maka bisa masuk ke ranah pencemaran nama baik dan pidana,” jelasnya.
Deolipa menilai penangkapan Resbob oleh aparat kepolisian merupakan konsekuensi hukum dari perbuatannya. Ia menekankan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup untuk menyelesaikan perkara, mengingat dampak yang dirasakan oleh banyak pihak.
“Masalahnya bukan satu orang yang tersinggung. Dalam kasus ini, banyak yang merasa terluka. Tidak semua orang bisa memaafkan. Kalau ada satu saja yang tidak memberi maaf, maka proses hukum tetap berjalan,” tegasnya.
Ia juga mencontohkan sejumlah kasus serupa di wilayah lain yang tetap diproses meski telah ada upaya permintaan maaf, karena hukum dibutuhkan untuk memberikan kepastian dan rasa keadilan bagi masyarakat yang merasa dirugikan.
Lebih lanjut, Deolipa menyebut kasus Resbob sebagai pelajaran berharga bagi publik. Apalagi, menurutnya, perbuatan serupa bukan kali pertama dilakukan oleh yang bersangkutan, namun sebelumnya tidak sampai tersentuh proses hukum.
“Sekarang dikejar hukum supaya ada efek jera. Bukan hanya untuk yang bersangkutan, tapi juga sebagai pembelajaran bagi semua agar tidak mudah menista orang lain, suku, atau kelompok tertentu,” ujarnya.
Terkait ancaman hukuman, Deolipa menyebutkan bahwa sanksi pidana akan bergantung pada pasal yang dikenakan oleh penyidik, termasuk kemungkinan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena pernyataan dilakukan melalui media sosial.
“Ancaman hukumannya bisa bervariasi, ada yang satu tahun, empat tahun, bahkan sampai enam tahun, tergantung pasal yang diterapkan dan mana yang paling berat,” jelasnya.
Deolipa juga menambahkan bahwa dalam kasus seperti ini, proses hukum tidak selalu harus menunggu laporan dari masyarakat. Kepolisian dapat membuat laporan polisi berdasarkan temuan sendiri apabila dinilai telah terjadi pelanggaran hukum.
“Laporan itu ada dua, laporan masyarakat dan laporan dari kepolisian sendiri. Dalam konteks ini, polisi bisa membuat laporan dan proses hukum tetap berjalan,” pungkas Deolipa.
Share this content:


